Senin, 28 November 2011

Cerpen : "BAYANGAN"

"Hai Via!”

Aku menoleh kearah sekelompok cowok yang sekompak choir memanggil namaku, waktu jalan di lorong sekolah pas jam istirahat. Aku tersenyum dan melambaikan tangan.

"Kok tumben sendirian, Vi? Gia mana?” Tanya salah seorang dari mereka.

Hmm… lagi-lagi Gia. Gia….Gia… Siapa lagi kalau bukan sahabatku yang juga cewek paling T.O.P di sekolah. Cantik, modis, pinter, ramah dan gaul. Ketua Pensi lagi. Semua label yang diimpikan cewek-cewek di SMA-ku ini, menempel sempurna di dirinya.
Aku? Aku hanya seorang Via. Aku sahabat terbaiknya sejak SMP. Rasanya aku cantik juga, tapi mungkin nggak secantik dia. Pastinya aku pintar juga, tapi mungkin nggak sepinter dia. Yang jelas aku popular karena aku seorang sahabat Gia.

Padahal kalau mau jujur, tanpaku Gia bukan siapa-siapa. Akulah yang selalu ada di belakang dan mendorongnya saat ia lagi nggak pede. Akulah yang selalu ada di depan dan menuntunnya saat ia lagi kebingungan. Akulah yang selalu ada di samping dan menemaninya kapanpun ia membutuhkan.

Tentu saja, satu sekolah tahunya profesiku hanyalah sebagai "bayangan” Gia. Dia Batman, aku Robin. Dia Winnie The Pooh, aku Piglet. Dia Beyonce, aku Kelly. Aku bayangannya. Cuma pelengkap nya saja.

Awalnya, aku nggak pernah mempermasalahkan soal ini. Semua titipan salam dari tiap cowok aku sampaikan ke Gia. Semua pertanyaan tentang Gia (masih single ato nggak, suka kado apa, rumahnya di mana, nomer hapenya berapa, dst), aku layani dengan baik. Bahkan saat cowok-cowok iseng mendirikan Gia Fans Club, aku pun ikut tertawa.
Tapi lama-lama aku muak. Aku sayang Gia dan aku tau dia juga menyayangiku, tapi aku lelah cuma jadi bayang-bayangnya. Nggak ada yang menoleh ke arahku saat ia di sebelahku. Nggak ada yang menanyakan diriku saat ia sedang jalan sendirian. Aku merasa nggak eksis. Everybody Loves Gia. Gia dan hanya Gia.

"Vi, menurut lo, si Alvin diapain ya? Kan dia ngajak nonton tuh hari Minggu besok, gue terima ato nggak ya?” Tanya Gia di kantin siang itu.

"Alvin itu yang mana sih, Gi?” tanyaku balik.

Aku selalu kesulitan mengurut nama-nama cowok yang mendekati Gia, karena banyak juga yang dari sekolah-sekolah lain. Belum sempat ia menjawabku, tiba-tiba Hersen datang dan duduk di sebelah kami.

"Hai Vi, hai Gi,” sapanya ringan, "boleh gabung di sini sebentar nggak?” sambungnya nggak kikuk.

"Ya, elo udah duduk baru nanya,” jawabku cuek. Gia hanya tresenyum mengiyakan. Mungkin itu yang membikin dia begitu loveable. She's just too sweet and I'm just too bitter.

"Band gue mau manggung Kamis malam besok di RedBoxx, lo berdua datang ya?! Ini tiketnya,” katanya sambil menyodorkan dua lembar tiket. Hersen belum lama bersekolah di SMA kami, ia siswa pindahan dari Kanada. Ia juga belum lama bergabung di bandnya sekarang, wonder Spot, salah satu bank indie elekronik dengan reputasi paling oke dan rajin main di pensi-pensi besar.

Waktu itu vokalisnya mengundurkan diri, lalu ia lulus audisi dan jadi penggantinya. Band itupun makin sukses, karena cowok ini memang keren banget. Ya suaranya, ya gayanya. Gia mengambil kedua tiket itu dari tangan Hersen. RedBoxx adalah tempat nongkrong paling hip saat ini, lumayan banget kalau bisa dapat free of charge.
"Oke Sen, kalau nggak ada halangan ya,” jawab Gia. Hersen tersenyum, lalu pamit pergi nggak lama kemudian.

"Akhirnya, dia ikut naksir lo juga Gi,” ujarku datar. Sebenarnya sudah lama aku sadar kalau Hersen sering memperhatikan kami ato Gia tepatnya.

"Belum tentu kali Vi,” sanggahnya.

"Ngasih tiket gratis ke RedBoxx? Mana mungkin kalau nggak ada maunya, Gi,” sambungku sambil tertawa.

"Tapi lo bisa datang, kan? Kita datang yuk!” ajaknya girang.

**********

Kamis malam, RedBoxx penuh sesak karena yang tampil Wonder Spot. Wuih, band ini memang keren banget. Apalagi Hersen. Begitu show terakhir dan kami hendak beranjak pulang, tiba-tiba seorang kru menghampiri kami.

"Giaya? Di tunggu Hersen di backstage. Sebentar aja, kok,” katanya cepat.

"Gia dan aku saling pandang. Aku mengangkat bahu,

"Okay sana gih, Gi, gue tungguin di sini. Kalau ada apa-apa, sms aja ya,” ujarku. Ia pun mengikuti kru tadi berjalan kea rah backstage.

Kira-kira 15 menit kemudian, aku melihatnya berjalan ke arahku sambil tersenyum lebar. Hmm, pasti good news.

"Guess what?!” katanya begitu ia tiba di hadapanku.

"Hersen suka ama lo, Gi?” aku mengeluarkan pertanyaan retorik.

"Salah!” serunya. Tawanya makin lebar. Dia memang cantik banget.

"Terus ngapain dia manggil lo ke backstage segala?” tanyaku bingung.

Karena ternyata tuh cowok chicken banget, dia nggak berani manggil lo langsung!” sergahnya.

"Maksud lo?” tanyaku makin bingung.

"Halaaaahh Vi, dia suka ama lo! Nih… dia nitip ini buat dikasih ke elo. Vintage banget nggak sih, bikin surat cinta! Hihihi…. ” katanya seraya menyodorkan secarik kertas kecil padaku. Aku mengambil kertas itu, lalu membacanya satu kalimat kutipan dari lagu lama milik band rohaninya Franky Sihombing, When I say that I love you…..”

Jatungku seperti berhenti berdetak. Namaku yang tertulis di sana, bukan Gia! Runtuhlah semua teoriku tentang bayang-bayang. Anggapanku selama ini tentang diriku yang hanya sebagai bayang-bayang Gia, adalah salah! Menjadi bayang-bayang adalah sebuah pikiran konyol yang akan terus menghantui dan menjadikanku sebuah pribadi yang kosong.

Tapi hari ini….aku tak lagi menilai diriku sebagai bayang-bayang….aku adalah aku sebagai mana Tuhan ciptakan aku untuk menjadi bayang-bayang-Nya, bukan bayang-bayang Gia atau yang lain. Terima kasih Tuhan…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar