Sabtu, 01 Januari 2011

Semangat Ekonomi Kerakyatan dari Koperasi

Gerakan koperasi pertama kali digagas oleh Robert Owen (1771-1858), yang menerapkannya pada usaha pemintalan kapas di New Lanark, Skotlandia. Kemudian dikembangkan oleh William King (1786–1865), dengan mendirikan toko koperasi di Brighton, Inggris. Pada 1 Mei 1828, King menerbitkan publikasi bulanan yang bernama The Cooperator, yang berisi berbagai gagasan dan saran-saran praktis tentang mengelola toko dengan menggunakan prinsip koperasi. Koperasi akhirnya berkembang di negara-negara lainnya.

Di Indonesia, koperasi diperkenalkan oleh R. Aria Wiriatmadja di Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir. Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya ditiru oleh Boedi Oetomo dan SDI. Belanda yang khawatir koperasi akan dijadikan tempat pusat perlawanan, sempat mengeluarkan undang-undang yang mematikan usaha ini hingga dua kali.

Pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia, dan mendirikan “koperasi kumiyai.” Awalnya koperasi ini berjalan mulus. Namun kemudian fungsinya berubah drastis, dan menjadi alat Jepang untuk mengeruk keuntungan dan menyengsarakan rakyat. Setelah Indonesia merdeka, pada tanggal 12 Juli 1947, diadakan Kongres Koperasi yang pertama di Tasikmalaya. Hari ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia hingga saat ini.

Ekonomi Kerakyatan

Dalam Undang-undang No 25 tahun 1992 Pasal 4 dijelaskan bahwa koperasi mempunyai fungsi dan peran: 1) Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya; 2) Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat; 3) Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko-gurunya; dan 4) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional, yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi

Jelas sekali di sini bahwa koperasi menganut paham ekonomi kerakyatan yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia saat ini. Itu tergambar, terutama dalam poin keempat bahwa koperasi merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

Di sinilah koperasi mempunyai peran dan kontribusi penting dalam memajukan ekonomi kerakyatan di Indonesia. Koperasi bukan hanya membawa manfaat secara ekonomi, tetapi juga membawa manfaat dan kebaikan secara sosial, serta mendatangkan pula rasa keadilan. Ini semua sesuai tujuan pembangunan dan harapan seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai tiang dan sokoguru ekonomi Indonesia, koperasi menganut ekonomi terbuka dan berkeadilan sosial. Setiap anggota mempunyai hak yang sama dengan anggota lainnya, sesuai dengan apa yang telah diberikannya untuk usaha koperasi tersebut. Ini terdapat juga dalam UU No 25 tahun 1992 Pasal 5 tentang prinsip koperasi, bahwa salah satunya pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota dalam koperasi.

Koperasi merupakan usaha paling efektif dalam mengurangi kemiskinan, dan paling tepat untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Peran koperasi dalam mengatasi dan memberikan jalan keluar pada krisis pangan dan energi jauh sangat nyata. Koperasi lebih mampu melakukan kegiatan konkret untuk meningkatkan ketahanan pangan dan mengembangkan energi alternatif.

Oleh karena itu, kita mengharapkan koperasi dapat menempatkan diri sebagai gerakan eknomi yang mampu membawa perubahan besar bagi perekonomian bangsa, dengan menggerakkan eknomi rakyat secara mandiri, berkeadilan dan berkelanjutan. Kalau pengangguran ingin berkurang, koperasilah yang seharusnya dikembangkan. Karena koperasi diyakini bisa mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan oleh ekonomi pasar, demi pemerataan dan keadilan pembangunan.
Belum Mampu Bersaing
Masalahnya sekarang, koperasi belum mampu bersaing dalam sistem perekonomian Indonesia. Koperasi Indonesia gagal untuk bergerak maju dengan prestasi yang sepadan dengan badan usaha lain yang bebentuk perseroan terbatas (PT). Padahal koperasi juga merupakan badan hukum yang diakui, setara dengan PT atau bentuk badan hukum lainnya untuk badan usaha.

Berbeda dengan PT, saat ini koperasi masih sering dianggap sebelah mata dan dianggap sebagai badan usaha kelas dua. Pada tender-tender di lingkungan pemerintahan pun, koperasi sering dianggap tidak mampu. Padahal menurut Keputusan Presiden (Keppres) No 80 tahun 1988 yang mengatur pengadaan barang dan jasa pemerintah, mengatur khusus bahwa koperasi harus diberi tempat.

Selain itu, sampai sekarang sangat jarang sekali ditemui koperasi yang menggeluti bidang-bidang dengan kebutuhan keterampilan dan teknologi canggih. Koperasi lebih banyak hanya berkutat pada bidang perdagangan umum dengan membuka toko serba ada (toserba), meningkat ke usaha warung telepon (wartel) atau mungkin warung internet (warnet). Malah yang lebih banyak saat ini adalah kospin alias koperasi simpan pinjam.

Sangat sulit menemui koperasi yang bergerak di bidang software development atau terjun di bidang IT, misalnya. Seperti usaha yang dijalankan koperasi milik pegawai PT Lintas Artha Jakarta yang mengelola bisnis outsourcing, dengan memasok teknisi-teknisi IT baru lulusan SMK untuk dipersiapkan menjadi pegawai di PT Lintas Artha sendiri.

Itulah beda koperasi Indonesia dengan negara-negara lainnya yang jauh lebih maju seperti di Eropa. Padahal jika dikembangkan lebih jauh lagi, bisnis koperasi ini bisa juga besar seperti yang dijalankan sebuah PT. Tinggal bagaimana usaha mencari peluang dan me-manage-nya. Jalan menuju ekonomi yang jauh lebih baik lagi dengan menganut paham ekonomi kerakyatan tentu hanya akan tinggal menunggu waktu.

Semoga koperasi Indonesia semakin maju dan bisa eksis di sistem ekonomi pasar berideologi liberal-kapitalis yang diseret masuk ke Indonesia dan semakin mengkeram perekonomian di negeri ini. Tentu saja, koperasi tetap dengan ekonomi kerakyatannya.

Kemandirian Ekonomi Pemuda

Pertumbuhan pembangunan bangsa dan negara dapat dicapai melalui masyarakat yang memiliki kesadaran untuk maju. Salah satu yang menjadi tolok ukur adalah pertumbuhan ekonomi yang dilihat dari daya beli dan ekonomi masyarakat.

Selama ini, pertumbuhan ekonomi masih diperkuat dari banyaknya industri besar yang menggerakan sektor ekonomi. Sedangkan pertumbuhan ekonomi yang digerakan masyarakat berupa kewirausahaan masih minim. Kewirausahaan atau entrepreneur belum menjadi mindset masyarakat.

Entrepreneurship dapat ditumbuhkan dalam masyarakat melalui komunitas yang digerakan oleh para entrepreneur dalam suatu komunitas sosial. Pola ini dikenal dengan social entrepreneurship. Menurut David McClelland, Sosiolog, bila ingin menjadi negara maju, maka 2% warganya menjadi entrepreneur. Satu wirausaha mampu mempekerjakan 8 orang. Dengan demikian akan banyak menyerap tenaga kerja.

Sebagai organisasi pemuda tingkat nasional, Perhimpunan Pemuda Hindu Indonesia (Peradah Indonesia) memiliki potensi yang besar dalam mewujudkan masyarakat yang memiliki kesadaran wirausaha. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya bibit-bibit wirausaha yang bersemi di daerah-daerah.

Untuk itu Peradah Indonesia melakukan berbagai program yang diinternalisasikan melalui berbagai kegiatan nyata di masyarakat. Berbagai program dan road map organisasi dirumuskan melalui perencanaan yang baik dalam forum yang melibatkan seluruh stakeholder Peradah Indonesia. Pertemuan nasional merupakan salah satu momentum untuk melakukan sinergi berbagai program organisasi, evaluasi dan proyeksi.

Dalam mewujudkan sinergi tersebut, sebuah organisasi perlu menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang dapat melalui sebuah proses dan kaderisasi berkelanjutan. Melalui SDM yang memiliki kompetensi dan bermoral, kemajuan bangsa dan negara dapat dicapai. Kondisi ini mendorong Peradah Indonesia untuk turut menciptakan kader-kader mumpuni yang akan berkiprah dalam masyarakat, bangsa, dan negara.

Koperasi dan UKM Tiang Kuat Ekonomi Indonesia

Pemerintah optimistis, sektor koperasi serta usaha kecil dan menengah (UKM) akan menjadi tiang ekonomi rakyat paling kuat di Indonesia. Bahkan, pemerintah yakin pelaku UKM akan dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi, mengurangi angka pengangguran serta angka kemiskinan di Indonesia.

Hal tersebut ditegaskan Menteri Koperasi dan UKM, Syarief Hasan, pada peringatan Hari Koperasi Tingkat Jawa Barat Ke-63 di Subang. Pemerintah, tambah mentri, justru mengandalkan sektor koperasi dan UKMsebagai penentu tercapainya target pertumbuhan ekonomi sebesar 7,7 % pada akhir 2014.

“Wirausahawan bisa menjadi penentu pencapaian target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Target pertumbuhan sebesar 7,7%, harus dicapai dan yang bisa mewujudkannya adalah UMKM, ujar mentri seraya mengajak hadirin, menanamkan pada diri masing-masing, bahwa UKM akan menjadi salah satu tiang ekonomi rakyat yang paling kuat di Indonesia.

Menteri Syarief bahkan menargetkan terjadinya penurunan kemiskinan pada 2014 akan dapat dicapai 8 % hingga 10 % dari saat ini yang mencapai 13,5 %. Ke-menterian Koperasi dan UKM serta para pelaku UKM akan mampu menyerap 5 % hingga 6 % angka pengangguran, yang kini mencapai 7,8 % dari jumlah penduduk Indonesia.

Peringatan Hari Koperasi Tingkat Jabar itu, selain menampilkan pameran hasil kerajinan dan usaha yang dilakukan koperasi dan UKM di Kab.Subang, juga peserta serta kabupaten/ kota di Jawa Barat. Adapun produk yang dipamerkan, berupa produk kerajinan, pakaian, aksesori, alas kala, piranti rumah tangga, furnitur, makanan dan minuman kemasan, serta produk kerajinan dan desain interior berbasis kayu, logam, kain, kulit,kaca, dan keramik.

Menyingg tentang perkembangan koperasi dan UKM di Indonesia, menurut Menteri Syarief, cukup menjanjikan. Oleh sebab itu, para pengusaha kecil dan menengah, harus mampu meningkatkan ketajaman visi bisnis mengingat persaingan bisnis global semakin ketat.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri KUKM Syarief Hasan, menetapkan Kab. Subang, sebagai Kabupaten Koperasi Wanita. Penetapan Kabupaten Subang sebagai Kabupaten Koperasi Wanita dilakukan, karena Kabupaten Subang dinilai telah berhasil menumbuhkan kembangkan ratusan koperasi wanita sebagaigarda terdepan perekonomian di pedesaan.

Sedang Bupati Subang, Eep Hidayat dalam kesempatan itu mengatakan, saat ini di Subang sudah terbentuk sedikitnya 170 koperasi wanita yang sudah memiliki badan hukum dan unit-unit usahanya pun maju pesat. Dari 170 unit koperasi wanita yang ada, lanjut bupati, sudah memiliki modal Rp 5 miliar dengan modal bergulir hingga Rp 32 miliar. Sekarang, sedikitnya sudah ada 100 lagi koperasi wanita yang bakal segera berbadan hukum dan melakukan fungsi ekonominya dengan perkembangan yang sangat menggembirakan. [sumber]

Koperasi dalam Demokrasi Ekonomi Indonesia

Banyak hal mendasar yang diulas dalam tulisan Prof. M. Dawan Rahardjo tersebut. Mulai dari pengertian koperasi sebagai organisasi demokrasi, sampai pada penjenisan usaha yang layak dijadikan andalan untuk bisa tampil sebagai kandidat developing cooperatives dalam skala global. Tidak ketinggalan mengenai persepsi ekonom politik umum tentang koperasi sebagai konsep mikro dengan ”usaha bersama” sebagai konsep makro. Dalam tataran persepsi ekonomi politik Indonesia, koperasi sejak dahulu memang selalu menarik untuk diperdebatkan dan tidak mudah mendapatkan kesimpulan yang kemudian dapat dijadikan acuan bersama dalam membangun koperasi Indonesia.

Pada makalahnya di halaman 2 alinea 3, Prof. Dawam Rahardjo menegaskan bahwa ”sebenarnya koperasi itu harus dikembangkan dalam kerangka Demokrasi Ekonomi”. Namun di negara-negara maju-pun wacana tentang Demokrasi Ekonomi baru berkembang belakangan pada akhir dasawarsa ’90an, sehingga di Indonesia perlu diaktualisasikan wacana teori ekonomi politik dalam menafsirkan konstitusi ekonomi Indonesia dan UUD 1945. Hal ini sangat penting karena sejak proses amandemen UUD 1945, terus terjadi perdebatan tentang demokrasi ekonomi yang sangat tajam. Prof. Dawam Rahadjo dan Prof. Mubiarto terpaksa mengundurkan diri dalam proses perumusan amandemen Pasal 33 UUD 1945. Kemungkinan karena tidak tahan menghadapi perdebatan dengan para ekonom muda yang telah terkontaminasi pemikiranya dengan faham demokrasi liberal dan tidak mau peduli dengan kondisi sosial budaya bangsanya sendiri.

Faktanya koperasi memang lebih banyak berkembang dalam skala besar di negara-negara yang menganut faham demokrasi liberal dari pada di negara-negara sosialis. Di negara maju yang menganut faham demokrasi liberal seperti Amerika Serikat dan Eropa, selain karena faktor perkembangan perekonomiannya juga karena adanya kesetaraan tingkat pendidikannya. Selain itu kesejangan budaya dan keyakinannya juga tidak setajam yang dihadapai bangsa Indonesia. Keberhasilan mereka mengembangkan pendidikan dan infrastruktur perekonomian bagi seluruh penduduknya juga tidak terlepas dari hasil penjajahan yang telah mereka lakukan atas bangsa lainnya. Adanya kesetaraan tingkat pendidikan, memudahkan mereka untuk membangun kesadaran bersama bahwa satu-satunya cara terbaik untuk menghindari kehancuran bersama akibat persaingan bebas adalah bekerjasama sebagaimana yang ditegaskan dalam tulisan G. Hardin (1967) tentang “The Tragedy of Common”. Faham persaingan bebas itu dikembangkan untuk negara-negara lain, bukan bagi mereka sendiri. Sampai saat inipun mereka masih menganut politik adu-domba. Bangsa Indonesia yang telah lama mengalami penderitaan akibat korban politik adu domba sejak jaman penjajahan, sampai sekarangpun kita sulit untuk menghindarinya.

Jika disimak dengan seksama sebenarnya sejak awal Panitia Perancang UUD 1945 secara tegas telah menolak demokrasi liberal. Dalam Rapat Besar Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 15 Juli 1945 Prof. Mr. Dr. Soepomo menyimpulkan bahwa: ”Sistem demokrasi liberal itu sebagai penjelmaan paham individualisme ialah sistem yang menyebabkan kemerdekaan dunia, menyebabkan imperialisme dan peperangan antara segala manusia. Oleh karena itu panitia menolak sistem demokrasi liberal. Dengan menerimanya dasar kekeluargaan sebagai dasar negara kita harus menolak sistem parlementer”.

Alasan penolakan paham tersebut sangat jelas, Bangsa Indonesia tidak ingin seperti Eropa ataupun AS yang menganut faham individualisme dan menimbulkan penjajahan, penindasan, pemerasan dan peperangan antar sesama manusia. Bangsa Indonesia mengendaki terwujudnya kemanusiaan yang adil dan beradab (sila ke-2) dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Mengenai perihal keadilan sosial ini, Ir. Soekarno  menegaskan bahwa:

”Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat kepada dasar individualisme... maka oleh karena itu jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita dengan faham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, ENYAHKANLAH tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya”.

”Kita rancangkan Undang-Undang Dasar dengan kedaulatan rakyat dan bukan kedaulatan individu. Kedaulatan rakyat sekali lagi, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut faham Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari. Jikalau faham kita inipun dipakai oleh bangsa-bangsa lain, itu akan memberi jaminan akan perdamaian dunia yang kekal dan abadi”.

Dengan penegasan di atas menunjukkan bahwa kesadaran tentang pentingnya kerjasama dalam mewujudkan keadilan sosial, sebenarnya telah lama diamanahkan oleh para pendiri NKRI, tetapi justru hal itulah yang sering diabaikan. Masih banyak para elit bangsa kita, yang merasa bangga karena mampu meniru ataupun menyuarakan kepentingan bangsa lain yang lebih maju, bahkan merasa hebat jika bisa mencemooh dan mengolok-olok bangsanya sendiri.



DEMOKRASI EKONOMI YANG DISESATKAN
Demokrasi dalam bahasa kamus kontemporer berarti sistem pemerintahan yang seluruh rakyat turut serta memerintah dengan perantara wakilnya. Kekuasaan atau kedaulatan tertinggi dalam pemerintahan di tangan rakyat.  Dengan pengertian ini, seharusnya mudah bagi kita untuk memahami penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Ditegaskan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat-lah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.

Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam demokrasi ekonomi itu, seluruh rakyat mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 27  ayat (2)  UUD 1945. Dengan demikian seharusnya tidak boleh ada pengangguran dan kemiskinan.

Celakanya penjelasan tentang demokrasi ekonomi yang demikian lugas telah dihapus dalam amandemen UUD 1945. Dengan menghapuskan penjelasan itu, akan memudahkan bagi mereka untuk menyesatkan demokrasi Indonesia, terutama oleh mereka.yang berkepentingan atas pokok-pokok kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan demokrasi yang sesat, sumberdaya ekonomi akan lebih mudah dikuasai untuk kepentingannya sendiri atau kepentingan bangsa lain yang membiayainya sehingga dapat menjadi penguasa. Akibatnya masih banyak rakyat Indonesia yang miskin bahkan terpaksa menjadi pengangguran di tanah air yang kaya raya dengan sumber kemakmuran rakyat.

Dalam praktek kehidupan berbangsa dan bernegara masih banyak yang mengabaikan perbedaan pengertian rakyat dengan individu atau orang perseorangan. Menurut kamus Bahasa Indonesia Kontemporer yang disusun oleh Peter Salim dan Yenny Salim (1995), rakyat adalah segenap penduduk suatu negara. Sedangkan individu adalah orang perseorangan. Rakyat digunakan untuk kepentingan yang terkait dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sedangkan individu untuk kepentingan orang perseorangan, kelompok atau golongan. Meskipun rakyat terdiri dari individu orang perseorangan, tidak berarti bahwa demokrasi ekonomi atau kedaulatan ekonomi di tangan rakyat adalah sama dengan penjumlahan kedaulatan ekonomi yang dikuasai oleh para individu orang perseorangan.

Kedaulatan individu dilandasi oleh faham individualisme dan liberalisme diyakini mengandung potensi konflik kepentingan yang selalu membahayakan dan menjadi ancaman bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Faham individualisme dan liberalisme sebagaimana yang diajarkan oleh Rousseau, Montesquieu, Hobbes, Lock, dan Immanuel Kant didasari oleh ”keabadian kepentingan” yang oleh Adam Smith digambarkan sebagai ”homo-economicus atau manusia-ekonomi”. Sebagai ”homo-economicus”, manusia senantiasa mengejar kepentingannya guna memperoleh manfaat atau kenikmatan yang sebesar-besarnya dari apa saja yag dimiliki. Mereka sangat rasional, egois dan serakah. Untuk mengejar kepentingannya mereka saling berkompetisi memperebutkan kekuasaan berbagai sumberdaya ekonomi untuk memenuhi kepentingannya baik secara individu, kelompok atau golongan.

Perebutan kekuasaan baru akan berhenti ketika terjadi keseimbangan kekuatan atau tumbuhnya kesadaran untuk bekerjasama dalam memenuhi kepentingannya secara bersama-sama, sebagaimana yang telah dialami oleh negara-negara maju. Meskipun persaingan perebutan berhenti, namun didalamnya masih mengandung potensi konflik kepentingan yang sewaktu-waktu akan muncul dengan berbagai macam cara baik yang tersembunyi ataupun yang terang-terangan. Dalam kondisi yang demikian akan sering timbul gejolak yang meresahkan, terutama bagi bangsa yang majemuk dan memiliki perbedaan tingkat pendidikan maupun kemampuan ekonomi yang sangat timpang sepertinya halnya Indonesia. Banyak ”akal-akalan”, ”pesekongkolan” ataupun ”teror” yang terus berkembang,  baik untuk mempertahankan diri ataupun untuk memperluas kekuasaan atas sumberdaya ekonomi yang tersedia. Dalam faham ini, kehormatan individu atau kelompok ditentukan oleh besaran kekuasaannya atas orang atau bangsa lain (survival of the fittest). Oleh karena itu para penganut faham ini dapat melakukan tindakan penjajahan, penindasan, penjarahan ataupun penghisapan atas orang atau bangsa lain tanpa beban perasaan bersalah.

Tanpa disadari banyak pendidikan yang sengaja diberikan kepada para intelektual yang dipersiapkan sebagai elit pembaharu (modernizing elite) untuk menerapkan faham individualisme dan liberalisme. Melalui pendidikan itu, mereka mengharapkan dapat meniru keberhasilan Belanda menjajah dan menguras kekayaan rakyat Indonesia dalam kurun waktu yang sangat lama. Pada masa penjajahan Belanda, rakyat diadudomba melalui para raja atau pemimpin lokal. Saat ini rakyat Indonesia diadudomba melalui elit politik, elit penguasa, elit pengusaha dan bahkan melalui para pemuka agama. Perebutan kekuasaan melalui pemungutan suara (voting) yang digerakkan dengan politik uang, terbukti sangat efektif untuk mengadu domba rakyat Indonesia. Akibatnya banyak energi rakyat Indonesia, baik yang berupa kekuatan fisik, kecerdasan intelektual dan spiritual serta kekayaan sosial dan material yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan, menjadi sia-sia karena intensitas konflik kepentingan yang berkepanjangan di antara sesamanya dalam perebutan kekuasaan atas berbagai sumberdaya  ekonmi yang tersedia.

Dalam acara ”World Movement for Democracy” di Jakarta pada tanggal 12 April 2010, Presiden Susilo Bambang Yudoyono menegaskan bahwa politik uang akan menghancurkan demokrasi. Makin besar politik uang, makin sedikit aspirasi rakyat yang diperjuangkan pemimpin politik. Para pemimpin yang menang berkompetisi melalui politik uang akan mengabdi pada pihak yang membiayai, bukan untuk memenuhi kepentingan rakyat yang memilihnya. Hasilnya adalah ”demokrasi jadi-jadian”. Bukan demokrasi yang sebenarnya. Kekuasaan tertinggi tidak lagi di tangan rakyat, melainkan di tangan pengusaha lokal maupun asing yang membiayai penguasa pemerintahan yang terpilih melalui politik uang.

Maraknya politik uang ternyata tidak hanya berpotensi menghancurkan demokrasi, menghancurkan sistem pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga menghancurkan sistem ketahanan sosial dan ekonomi bangsa. Akibat politik uang, persaingan antar kelompok masyarakat baik melalui partai politik, lembaga ekonomi maupun berbagai bentuk lembaga masyarakat yang lain, semakin sulit dikendalikan, kecuali dengan uang. Persaingan tersebut tidak hanya menimbulkan permusuhan dan saling tidak percaya (distrust), tetapi juga menimbulkan ”disharmony” antar individu dan antar lembaga pemerintahan yang berpotensi melemahkan fungsi lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun daya saing perekonomian bangsa. Banyak orang tidak menyadari bahwa politik uang yang dikembangkan melalui partai politik adalah bagian dari strategi baru politik ”adu domba” dari para penganut faham liberalisme. Faham yang menghalalkan segala cara untuk menguras, merampas, menindas dan memeras dengan melanggengkan kekuasaan politik dan penguasaan atas sumberdaya ekonomi yang tersedia.

Politik uang telah menghasilkan ”demokrasi jadi-jadian”. Seolah-olah demokrasi padahal yang sebenarnya berkembang adalah liberalisasi. Kekuasaan tertinggi pemerintahan tidak di tangan rakyat, tetapi di tangan penguasa yang ”bersekongkol” dengan para pengusaha. Keterbukaan dan kejujuran yang menjadi prasyarat terwujudnya sinergi kekuatan bangsa, tercabik-cabik oleh politik ”akal-akalan” yang menyesatkan dan menipu rakyat. Akibatnya kekayaan sumberdaya alam yang luar biasa, kreatifitas budaya dan kekayaan intelektual bangsa Indonesia yang seharusnya dapat dijadikan modal dasar untuk melindungi, mencerdaskan dan mensejahterakan rakyat, justru menjadi sumber bencana yang justru merugikan rakyat. Makin banyak hutang negara yang mengakibatkan pemimpin bangsa menjadi tidak berdaya, makin banyak rakyat yang menderita, tetapi banyak pula yang tega berfoya-foya tanpa rasa malu ataupun bersalah.

 
KOPERASI DALAM DEMOKRASI EKONOMI (INDONESIA)
Dalam pandangan para Panitia Perancang Undang-Undang Dasar 1945 (Asli) manusia bukanlah ”homo-economicus” yang rasional, egois dan serakah. Manusia adalah ”wakil Allah di muka bumi”. Keberadaan manusia tidak untuk saling menguasai, tetapi untuk saling memberi manfaat baik bagi sesamanya maupun bagi makhluk Allah yang lainnya. Manusia diciptakan untuk memberi rahmat bagi alam seisinya. Oleh karena itu setiap manusia diberi otoritas untuk mewakili-Nya dalam urusan keduniaan. Untuk itu setiap manusia dibekali dengan kekuatan fisik, kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual dan kecerdasan sosial yang kadarnya berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan kadar kekuatan dan kecerdasan itu diberikan, karena setiap manusia diberi peran sesuai dengan yang diamanahkan-Nya. Dengan adanya perbedaan peran itulah terbuka potensi untuk saling berbagai, saling melengkapi dan saling memberi manfaat di antara sesamanya, sehingga setiap manusia dapat menjalankan peran yang diamanahkan-Nya sebaik mungkin yang mampu diusahakannya. Kehormatanya ditentukan oleh besaran kemampuannya memberi manfaat bagi orang atau bangsa lain.

Berdasarkan keyakinan itulah, maka para Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang terdiri para tokoh pejuang kemerdekaan yang tidak diragukan kualitas kecerdasan spiritualnya, kecerdasan intelektualnya dan kecerdasan sosialnya, secara musyawarah mufakat menetapkan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Dasar negara yang mencerminkan faham kekeluargaan, tolong-menolong, gotong-royong dan keadilan sosial bagi sesama wakil Allah di muka bumi. Dengan faham ini, maka kerakyatan dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sebagaimana ditegaskan pada Sila ke-4 dalam Pancasila.

Kalau hakekat demokrasi ekonomi mengacu pada pembuatan keputusan atau kebijakan ekonomi dengan memberi kesempatan yang sama kepada seluruh rakyat, maka Sila ke-4 Pancasila dapat dipandang sebagai unsur inti Demokrasi Ekonomi (Pancasila). Berdasarkan Sila ke-4 ini, seluruh rakyat diberi kesempatan untuk ikut dalam proses membuat keputusan dalam mengelola sumberdaya ekonomi dalam forum permusyawaratan untuk mencapai konsensus permufakatan, sebagaimana halnya koperasi dalam menyelenggarakan rapat anggota.

Pada Rapat Besar BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin menegaskan bahwa dasar permusyawaratan itu memberi kemajuan kepada umat yang hidup dalam negara, karena tiga hal. Pertama, dengan dasar permusyawaratan itu manusia memperhalus perjuangannya dan bekerja atas jalan ke-Tuhan-an dengan membuka pikiran dalam permusyawaratan sesama manusia. Kedua, oleh permusyawaratan maka negara tidak dipikul oleh seorang manusia atau pikiran yang berputar dalam otak sebuah kepala, melainkan dipangku oleh segala golongan, sehingga negara tidak berpusing di sekeliling seorang insan, melainkan sama-sama membentuk negara sebagai suatu batang tubuh yang satu-satu sel mengerjakan kewajiban atas permufakatan yang menimbulkan perlainan atau pembedaan kerja untuk kesempurnaan seluruh badan. Ketiga, permusyawaratan mengecilkan atau menghilangkan kekhilafan pendirian atau kelakuan orang seorang, sehingga permusyawaratan membawa negara kepada tindakan yang betul dan menghilangkan segala kesesatan.

Dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut di atas ditegaskan bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi. Dalam hal ini koperasi dapat diterjemahkan sebagai konsep makro maupun mikro. Dalam konsep makro, spirit koperasi seharusnya dijadikan dasar untuk membangun sinergi para pelaku ekonomi bangsa, baik yang berbentuk lembaga koperasi, BUMN, maupun swasta. Dalam konsep mikro, koperasi seharusnya mampu mensinergikan segenap potensi ekonomi para anggotanya, sehingga memiliki kekuatan daya hidup untuk mensejahterakan anggota dan peduli terhadap lingkungannya.

Sebagaimana yang diyakini oleh para pegiat koperasi di Jepang, jika koperasi kalah bersaing dengan swasta, artinya masih ada persoalan dalam mamajemen koperasi. Oleh karena itu mereka terus menerus berusaha memperbaiki sistem manajemennya agar mampu beradaptasi dan mengembangkan inovasi untuk memenangkan persaingan global. Oleh negaranya koperasi diberi kepercayaan untuk mengelola sumberdaya ekonomi yang menguasai hajat orang banyak seperti sektor pertanian, perikanan dan kehutanan, sektor asuransi dan keuangan. Begitu juga yang dilakukan oleh Korea Selatan maupun negara lain yang menyakini koperasi mampu mengembangkan demokrasi ekonomi dan berkembang dalam skala besar di tingkat global.

Bagi Indonesia koperasi memang tidak diharapkan mampu terbang tinggi bagaikan seekor elang yang mampu memangsa ikan di tengah lautan. Koperasi Indonesia diharapkan seperti lebah yang bersayap kecil, tetapi mampu menghasilkan madu yang menyehatkan kehidupan rakyat Indoesia. Untuk itu yang lebih diperlukan adalah pendidikan yang terus menerus tidak hanya bagi para penyelenggara pemerintahan tetapi juga bagi seluruh rakyat tentang jati diri bangsa dan pentingnya amanah konstitusi untuk menegakkan demokrasi ekonomi untuk menjamin keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia.